Menjadi ibu bekerja atau ibu rumah tangga?

Beberapa minggu yang lalu aku reuni dengan teman-teman kuliahku. Beberapa diantaranya sudah menikah dan punya anak, sebagian lainnya masih lajang. Status kami semua adalah pekerja: teman-temanku pekerja kantoran full time, aku pekerja part time dari rumah.

Sepulangnya dari menyelesaikan kuliah S2ku di luar negeri, aku ternyata langsung hamil. Sejak mengetahui bahwa diriku hamil, aku memang sengaja mencari pekerjaan paruh waktu yang bisa memberiku waktu yang cukup banyak untuk istirahat serta mempersiapkan kelahiran si kecil nantinya. Alhamdulillah kesempatan itu datang, dan akupun bisa bekerja dari rumah. Semua pekerjaan bisa diselesaikan via internet tanpa perlu bertemu muka dengan pemberi kerja.

Rencananya, untuk sekurangnya 6 bulan pertama sejak kehadiran si kecil, aku juga akan berupaya meneruskan kerja part time-ku ini. Semoga masih bisa terwujud ya. Karena kalau mendengar kisah teman-temanku yang menjadi ibu bekerja, semua mengeluh bahwa cuti melahirkan 3 bulan sangat tidak cukup untuk mendapatkan quality time bersama anak. Kalau bisa kerja part time atau kerja dari rumah, mereka juga akan memilih jalan itu. Salah satu teman lelakiku bahkan menyarankan bahwa pekerjaan part time adalah opsi yang paling pas untuk ibu yang baru melahirkan.

Kembali ke acara reuniku tadi. Ketika salah seorang teman mengetahui rutinitasku saat ini, ia langsung berkomentar: “Yah, sayang banget dong lo udah kuliah jauh-jauh ternyata cuma di rumah doang.” Sempat kaget juga aku mendengar komentarnya. Mungkin dia pikir aku tidak melakukan apa-apa di rumah, atau tidak mengaplikasikan ilmu yang sudah kudapat dari bertahun-tahun semasa kuliahku selama ini.

Aku langsung protes: “Lho, gue kerja kok di rumah. Dan pekerjaannya masih relevan dengan ilmu yang gue pelajari di bangku kuliah. Lagipula kalau kita akan punya anak, pasti akan banyak prioritas hidup yang agak berubah dan harus disesuaikan dengan adanya si kecil nanti.”

Temanku yang sudah punya anak ikut menimpali: “Betul, kerja di rumah tuh udah paling enak deh. Nggak tega ninggalin anak nangis pas kita harus berangkat kerja.”

Setelah kejadian itu aku banyak merenung. Sebenarnya kalaupun aku memutuskan untuk sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga nantinya juga bukanlah masalah. Mendidik anak sendiri merupakan sebuah tugas yang berat dan membutuhkan perhatian serius dari kedua orangtuanya. Kalau memang ternyata pembagian tugasnya adalah ibu mendidik anak di rumah, dan bapak mencari nafkah di luar rumah, biarlah itu terjadi. Dua-duanya merupakan bentuk tanggung jawab sebagai orangtua yang sama bobot nilainya.

Terus terang aku pribadi pernah memandang sebelah mata para wanita potensial yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga setelah menikah dan mempunyai anak. Ya, pandangan ‘untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya cuma jagain anak di rumah’ memang bisa dipahami. Tapi ‘jagain anak di rumah’ itu bukan berarti kita tidak menggunakan potensi kita lho! Seorang ibu yang berpendidikan akan sangat mumpuni dalam mentransfer nilai-nilai pendidikannya kepada sang anak yang kelak suatu saat akan menjadi anggota masyarakat yang memiliki fungsi penting bagi sesamanya. Hal itu mulai kusadari ketika mengalami sendiri rasanya (akan) menjadi orangtua.

Dan siapa bilang menjadi ibu itu hal yang mudah dan tidak membutuhkan banyak ilmu serta keterampilan? Sejak aku hamil, aku merasakan sendiri perlunya untuk belajar lagi tentang dasar-dasar kesehatan keluarga, cara mendidik dan membesarkan anak, cara menjalankan peran sebagai orang tua, cara mengatur keuangan rumah tangga, hingga cara mengatur jadwal kegiatan sehari-hari. Aku belajar dan mempraktekkan resep-resep masakan sehat untuk ibu hamil dan batita, belajar tentang bahan-bahan popok kain dan praktek menjahit clodi sendiri, mengumpulkan info tentang kegiatan-kegiatan keluarga yang cocok dilakukan ketika si kecil hadir, hingga pontang-panting survey barang bayi dari pasar, ITC, baby fair hingga toko-toko online.

Saat ini aku mencoba menikmati seluruh masa persiapan hingga hadirnya si bayi. Tentu saja aku sering dilanda kebosanan karena lebih sering di rumah, sering frustasi karena harus menyesuaikan diri dengan peran baruku sebagai ‘pengatur rumah tangga’, dan terkadang iri melihat suamiku yang sibuk dengan pekerjaan barunya yang mempertemukan dirinya dengan orang-orang yang menarik serta melibatkannya dalam kunjungan-kunjungan kerja yang seru.

Tapi akupun menyadari bahwa semua akan ada waktunya sendiri. Saat ini aku masih fokus mempersiapkan kehadiran anakku, namun suatu saat kelak ketika aku sudah punya waktu untuk bekerja di luar rumah lagi, tentu akan kulakukan itu. Tentu ilmu yang kudapat selama di bangku kuliah tetap akan kuasah dan kuaplikasikan baik di rumah dengan anakku maupun di dunia kerja.

Un tungnya suami juga mendukung semua pilihanku, entah aku ingin menjadi ibu rumah tangga saja nantinya atau bekerja lagi. Sejatinya ia mendukung opsi kedua orangtua sama-sama bekerja, namun ia menyerahkan keputusan akhirnya padaku. Untuk saat ini, kita lihat dulu bagaimana kesibukanku nanti ketika anak sudah ada, dan opsi kerja apa yang terbaik bagiku kelak.

Leave a comment